Selasa, 10 November 2015

Konsep Evaluasi Program

Evaluasi program mempunyai makna yang berhubungan pada aplikasi skala nilai terhadap hasil kebijakan atau program. Gambaran sederhana evaluasi adalah proses pencapaian tujuan dari pelaksanaan program yang dijalankan. Dengan ini maka evaluasi berkenaan dengan pengambilan keputusan dan menekankan bagi pentingnya cara untuk mendapatkan informasi yang berkenaan dengan pencapaian tujuan dari suatu program. Pengumpulan data yang diperoleh melalui evaluasi dibuat untuk menambah efektifitas dari pelaksanaan program.
Paton menjelaskan evaluasi program adalah proses pengambilan data yang sistematis untuk melakukan penilaian dan keputusan terhadap suatu program[1]. Berdasarkan pendapat tersebut maka evaluasi program adalah sebuah proses, dimana proses harus sistematis dalam pengambilan datanya. Evaluasi digunakan untuk pengambilan keputusan atau peniaian. Jadi evaluasi program mempunyai tiga hal pokok yang pentting, yaitu pengambilan data, penilaian, dan pengambilan keputusan.
Hal penting dalam pengambilan data maksudnya bahwa evaluasi harus dilakukan secara sistematis dengan desain evaluasi[2]. Pengambilan data harus mempunyai perencanaan agar diperoleh data yang benar. Pengambilan data sistematis berarti bahea pengambilan data harus disesuaikan dengan tahapan-tahapan dan prosedur yang telah ditetapkan dalam proses perencanaan evaluasi. Hali ini akan memberikan gambaran yang benar mengenai pelaksanaan program. Setelah pengambilan data, kemudian dilanjutkan dengan penilaian.
Penilaian yang dilakukan berdasarkan fakta-fakta yang diperoleh dan pemberian kriteria terhadap objek-objek[3]. Penilaian dapat dilakukan dengan cara membandingkan hasil pencapaian program dengan tujuan yang telah ditetapkan dalam perencanaan program. Hasil penilaian kemudian dijadikan sebagai dasar untuk menentukan keputusan-keputusan.
Pendapat lain yang memperkuat pendapat di atas adalah pendapat dari Stufflebeam yang menyatakah bahwa “Evaluation is a systematic investigation of the value of a program or other evaluand[4]. Stufflebeam menjelaskan bahwa evaluasi merupakan proses yang sistematis dari nilai sebuah program.
Stufflebeam dalam Muhammad Aziz Ariyanto menyatakan bahwa “evaluating is the process of delineating, and providing descriptive and judgemental information about the worth and merit of some object’s goal, design, implementation, and impact in order to guide decision making , serve needs for accountability, and promote understanding of the involved phenomena[5]. Pendapat tersebut berati bahwa evaluasi adalah suatu proses untuk mendapatkan informasi guna dijadikan pertimbangan untuk menentukan harga dan jasa (worth and merit) dari tujuan yang dicapai, desain, implementasi, dan dampak untk membantu membuat keputusan, membantu pertanggungjawaban dan meningkatkan pemahaman tentang fenomena. Secara sederhana evaluasi adalah penyediaan informasi yang dijadikan sebagai bahan pertimbangan untuk mngambil keputusan.
Upaya untuk melakukan kegiatan harus memperhatikan empat prinsip dasar. seperti yang disarankan oleh Daniel L. Stufflebeam yaitu utility, feasibility, propriety, dan accuracy[6]. Utility dimaksudkan agar evaluasi itu bersifat informatif, feasibility dimaksudkan agar desain evaluasi diatur sesuai dengan bidang yang akan dievaluasi dan dengan biaya yang efektif. propriety dimaksudkan agar evaluasi dilakukan secara legal dan menjunjung etika. Accuracy dimaksudkan agar evaluasi harus akurat dan valid, reliabel, dan merupakan informasi yang menyeluruh.
Berdasarkan beberapa pendapat dari pakar evaluasi program di atas, maka dapat diamil kesimpulan bahwa evaluasi merupakan proses pengambilan data yang dilakukan dengan sistematis atau betahap untuk melakukan penilaian atau pengambiilan keputusan terhadap suatu program dengan memperhatikan prinsip-prinsip evaluasi. Prinsip-prinsip evaluasi program adalah utilitas, kepatuhan, kelayakan, dan akurasi.



[1] Michael Quin Paton. Utilization Facused Evaluation. (Califirnia: Sage Publication, Inc., 2005), h. 23.
[2] Reider Dale dalam Muhammad Aziz Ariyanto. Evaluasi program Manajemen Pusat Pendidikan dan Latihan Olahraga Mahasiswa (PPLM) di Jawa Tengah. Disertasi. (Jakarta: PPs. Universitas Negeri Jakarta, 2015), h. 18.
[3] Djaali dan Pudji Mujiono. Pengukuran dalam Bidang Pendidikan. (Jakarta: PT Gramedia, 2008), h. 1.
[4] Daniel L. Stufflebeam dalam Muhammad Aziz Ariyanto, op. cit., h.19.
[5] Ibid., h. 19.
[6] Daniel L. Stufflebeam. “Empowerment Evaluation, Objectivist Evaluation, and Evaluation Standards: Where the Future of Evaluation Should not Go and Where it Needs to Go”. American Journal of Evaluation, Vol 15 (3), Spring 1994, hh.321-338.

Rabu, 23 Juli 2014

Keterampilan Mengajar Guru Pendidikan Jasmani dan Olahraga

Photo by : https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi2sGWvdBkNaa4ZfL5bs1_cw2_mR2cs-4Myt9kOStGBieCCQVZMgO2mEjpstfE8lKgW6i6lLf146mj9xiECtc1ePVbx3BCpnzwzbJ9oDKWYUeqON4Zml9WKyOqi6-fdpmvT04MXx0csQLc/s1600/PIC_1394.JPG
Keterampilan mengajar merupakan hal yang fundamental harus dimiliki setiap guru. Tanpa keterampilan mengajar tentu guru tidak akan menciptakan kondisi yang memungkinkan untuk belajar bagi siswa dan tentu hasilnya akan sia-sia.

Menurut Suroto (2010) dalan Teaching Skill Suroto 2010-2, keterampilan-keterampilan mengajar yang harus dimiliki guru pendidikan jasmani dan olahraga adalah sebagai berikut:

1. Keterampilan menyiapkan pembelajaran
Keterampilan menyiapkan pembelajaran merupakan awal dari proses belajar mengajar guru. Keterampilan menyiapkan pembelajaran terdiri dari membuat perangkat pembelajaran, merefresh penguasaan materi, mengecek data kemampuan awal siswa, menyiapkan tempat, dan menyiapkan alat-alat pembelajaran.

2. Keterampilan membuka pelajaran
Keterampilan membuka pelajaran merupakan keterampilan untuk menarik perhatian siswa, menimbulkan motivasi, memberi acuan, membuat kaitan. Komponen dalam keterampilan ini adalah melakukan presensi, menyampaikan ruang lingkup materi, mengadakan apersepsi, menyampaikan tujuan psikomotor, menyampaikan tujuan kognitif dan afektif.

3. Keterampilan mengelola waktu dan arena pembelajaran
Komponen dalam keterampilan adalah menyampaikan waktu yang tersedia untuk pembelajaran, menyampaikan waktu yang tersedia untuk setiap tugas belajar, menyampaikan batas-batas arena pembelajaran, membuat tanda-tanda peningkatan level tugas, membuat tanda pembeda dari tugas gerak yang berbeda.

4. Keterampilan mengelola pemanasan dan pendinginan
Komponen dalam keterampilan ini adalah menyebut nama gerak/ formasi/ permainan, menyampaikan tujuan gerak/ formasi /permainan, cara melakukan/indikator kesempurnaan, mengaitkan dengan materi inti, mengecek hasil pemanasan/pendinginan.

5. Keterampilan menempatkan diri
Komponen dalam keterampilan ini adalah pada saat osisi perintah verbal menjamin semua siswa dengar, pada saat posisi demo memungkinkan semua peserta didik melihat dan mendengar penjelasan guru, pada saat posisi monitoring total dengan sudut pandang penuh, pada saat posisi memberi feedback individu, pada saat membuka pelajaran (lokasi + arah sinar matahari).

6. Keterampilan membuat perintah
Komponen dalam keterampilan ini adalah singkat, waktu mulai jelas dan waktu selesai jelas, isi jelas, pelaksana jelas, ada indikator kesempurnaan jelas.

7. Keterampilan memonitor perintah
Komponen dalam keterampilan ini adalah posisi monitoring (sudut pandang penuh/checklist), mencocokkan dengan indikator, mencatat deviasi/penyimpangan dari indikator, menginformasikan peran guru, memberi tanda bentuk feedback (koreksi atau apresiasi).

8. Keterampilan memberikan umpan balik
Komponen dalam keterampilan ini adalah singkat, spesifik/khusus, segera, menyeluruh, variatif.

9. Keterampilan mencatat kemajuan belajar siswa
Komponen dalam keterampilan ini adalah format siap,ada indikator kesempurnaan, indikator yang dinilai lengkap, indikator urut kronologis, konsistensi klasifikasi penilaian/Norma penilaian tetap.

10. Keterampilan bertanya
Komponen dalam keterampilan ini adalah terkait langsung dengan materi ajar, singkat, jelas, variatif, ada jawaban/ memungkinkan dijawab.

11. Keterampilan mengevaluasi diri
Komponen dalam keterampilan ini adalah ada catatan evaluasi persiapan, proses, produk/hasil,ada format Evaluasi diri, menyediakan waktu khusus.

12. Keterampilan menutup pelajaran
Komponen dalam keterampilan ini adalah menyimpulkan proses, hasil, memberikan apresiasi, menyampaikan rencana materi berikutnya dan persiapan yang diperlukan, menyampaikan tindak lanjut dalam kehidupan sehari-hari siswa.

Selasa, 21 Januari 2014

Paradigma, Pendekatan, dan Jenis Penelitian


Penelitian adalah upaya pemecahan masalah yang dilakukan dengan metode ilmiah. Jadi tidak akan ada penelitian tanpa adanya masalah. Banyak pakar penelitian mengatakan bahwa "Jika ingin melakukan penelitian, temukan masalah terlebih dahulu. Karena dengan masalah 50% penelitian tersebut telah selesai". Dari pernyataan tersebut dapat diartikan masalah merupakan awal dari penelitian dan hal vital untuk penelitian. Setelah ditemukan masalah, selanjutnya dengan metodologi penelitian, masalah tersebut akan mudah diselesaikan.

Penyelesaian masalah penelitian pada tahap awal ditentukan pradigma dari peneliti. Paradigma merupakan suatu cara pandang, cara memahami, cara menginterpretasi, suatu kerangka berfikir, dasar keyakinan yang memberikan arahan pada tindakan. Dalam penyelesaian masalah, peneliti diharuskan melihat dari sudut pandang yang mampu dilakukan oleh peneliti tersebut.


Paradigma penelitian ada 2 macam, yaitu paradigma positivistik (ilmu didasarkan pada hukum-hukum & prosedur-prosedur yang baku) dan paradigma interpretif (setiap gejala bisa jadi memiliki makna yang berbeda). Paradigma positivistik akan melahirkan pendekatan kuantitatif (data berupa angka atau data diangkakan), sedangkan paradigma interpretif akan melahirkan pendekatan kualitatif (data berupa kata-kata). Sebagai contoh, dalam penelitian tentang manajemen kesuksesan suatu perusahaan, peneliti bisa melihat dari sudut pandang interpretif, dimana data yang didapatkan berupa kata-kata tentang perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengawassan di perusahaan tersebut. Apabila peneliti melihat dari sudut pandang positvistik, maka peneliti akan mendapatkan data dengan mengambil nilai berupa angka (mengkuantitatifkan data) dari data tentang perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengawassan di perusahaan tersebut.

Dari paradigma penelitian tersebut akan melahirkan pendekatan penelitian dimana pendekatan tersebut dibagi 2, yaitu pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Pendekatan kuantitatif terbagi menjadi 2 jenis penelitian yaitu penelitian eksperimen dan penelitian non-eksperimen. Penelitian eksperimen merupakan penelitian yang dilakukan secara ketat untuk mengetahui hubungan sebab akibat antar variabel dimana peneliti akan memberikan treatment (perlakuan). Sedangkan penelitian non-eksperimen adalah penelitian dimana peneliti tidak mempunyai kesempatan untuk memberikan perlakuan (treatment).


Dalam penelitian eksperimen, ada banyak jenis penelitian, diantaranya adalah penelitian eksperimen murni, penelitian eksperimen semu, dan penelitian tindak kaji (action research). Peneltian eksperimen murni adalah penelitian yang dicirikan 4 hal, yaitu adanya perlakuan, adanya kelompok kontrol, adanya ukuran keberhasilan, dan random sampling (pengambilan sampel secara acak). Penelitian eksperimen semu merupakan penelitian eksperimen yang tidak dapat memenuhi keempat ciri (di eksperimen murni), dengan kata lain salah satu ciri yang ada di penelitian eksperimen murni tidak dapat dilakukan. Penelitian tindak kaji (action research) adalah penelitian yang proses penelitiannya bersiklus dengan tujuan untuk memperbaiki kualitas pembelajaran di kelas secara berkelanjutan. Yang dimaksud bersiklus adalah penelitian tidak akan berhenti sampai terjadi perbaikan kualitas (tujuan penelitian tercapai).


Penelitian non-eksperimen merupakan penelitian yang dalam proses penelitiannya tidak ada perlakuan. Penelitian non-eksperimen terbagi menjadi banyak jenis penelitian, akan tetapi yang paling sering dilakukan adalah jenis penelitian deskriptif, jenis penelitian survei, jenis penelitian korelasi, dan jenis penelitian komparasi. Jenis penelitian deskripsi adalah penelitian yang dilakukan untuk menggambarkan gejala, fenomena atau peristiwa. Jenis penelitian survei adalah penelitian yang mengambil sampel dari populasi dengan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data. Jenis penelitian korelasi adalah penelitian yang menghubungkan satu/lebih variabel bebas dengan satu variabel terikat tanpa ada upaya untuk mempengaruhi. Dan jenis penelitian komparasi adalah penelitian yang membandingkan satu kelompok sampel dengan kelompok sampel lainnya berdasarkan variabel/ukuran tertentu.

Dalam pendekatan kualitatif, jenis penelitian yang sering dilakukan adalah penelitian kualitatif, dimana penelitian ini dilakukan untuk memahami suatu fenomena secara mendalam dengan peneliti sebagai instrumen utama. Metode pengumpulan data dengan menggunakan pengamatan (observasi) dan wawancara. Penelitian kualitatif menuntut peneliti sebagai instrumen utama penelitian, hal ini bermakna bahwa peneliti harus cerdas dalam menafsirkan, mengartikan, memaknai dan menginterpretasikan data yang didapatkan menjadi sebuah jawaban penelitian (penyelesaian masalah).

Senin, 16 Desember 2013

Hakekat Lari Cepat Jarak Pendek


Lari cepat jarak pendek yang lazim disebut sprint merupakan kelompok nomor lari dengan jarak tempuh sangat dekat. Tujuan utama dari sprint adalah mencapai kecepatan lari secara maksimal dan mempertahankan kecepatan lari tersebut selama mungkin sampai melewati garis akhir dalam waktu yang paling singkat. Nomor sprint diklasifikasikan dalam jarak 100 meter, 100 meter gawang, 110 meter gawang, 200 meter, 400 meter, 400 meter gawang, estafet 4 x 100 meter, dan estafet 4 x 400 meter. 

Jarak sprint ini diklasifikasikan lagi oleh Ballesteros (1993) menjadi sprint pendek (100 m, 200 m, 100 mgw, 110 mgw) dan sprint panjang (400 m dan 400 mgw). Klasifikasi yang dikemukakan oleh Ballesteros hanya didasarkan pada aktivitas murni yang dilakukan seorang atlet ketika meraih prestasi dalam suatu perlombaan tanpa ada bantuan dari orang lain (temannya) misalnya pada estafet 4 x 100 m dan estafet 4 x 400 m. Kemenangan yang diperoleh dari kedua nomor di atas tidak ditentukan oleh satu orang saja tetapi ditentukan oleh kerja sama dari keempat pelari yang terpilih sehingga jarak 4 x 100 m, 4 x 400 m tidak dimasukan dalam klasifikasi jarak tersebut, akan tetapi kedua jarak ini merupakan bagian dari nomor sprint yang dimasukan dalam acara perlombaan resmi International Athletic Amateur Federation (IAAF). 

Mengacu pada tujuannya, kecepatan merupakan sifat biomotor bagi atlet sprint yang dimaksudkan sebagai suatu kemampuan untuk melakukan gerakan khusus dalam waktu yang paling singkat. Sprint juga merupakan keterampilan gerak yang didapat melalui pemahaman atau aturan-aturan pada prinsip belajar gerak (motor-learning). Menurut pemikiran tradisional, sprinter itu dilahirkan dan bukan dihasilkan. Hal ini menjadi benar ketika mengacu pada ungkapan bahwa tidak mungkin ada pelari kelas dunia tanpa dukungan genetik. Di pihak lain, seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan hasil-hasil penelitian menyebabkan batasan ini tidak banyak dipakai karena memang pemahamannya terlalu sempit. 

Seperti telah dinyatakan, bahwa seorang atlet bukan dilahirkan tetapi dihasilkan. Kata dihasilkan mengandung arti, atlet itu dibentuk melalui suatu proses pelatihan yang terencana dalam suatu perencanaan program pelatihan secara sistematis, berkesinambungan dan berlandaskan IPTEK kepelatihan olahraga prestasi khusus pada nomor tersebut. Banyak ilmu kepelatihan olahraga prestasi khusus nomor sprint, yang harus dipahami sebelum melaksanakan tugas melatih. Dukungan ilmu pengetahuan yang dimaksud antara lain adalah biomekanika, anatomi, fisiologi, biomotorik, tes dan pengukuran, psikologi, pengetahuan proses melatih dan pengetahuan tentang penyusunan program pelatihan. Dukungan ilmu yang terkait dengan mekanik sprint adalah biomekanika.

Dukungan biomekanika terkait dengan penampilan seorang sprinter dapat dikaji dari jalur pergerakan, mekanik sprint dan faktor pendukung pergerakan. Dari arah gerak atau jalur pergerakan, lari termasuk dalam gerak linier. Dikatakan demikian karena arah pergerakan yang dilakukan berada pada satu jalur dengan tidak mengubah arah gerakannya ketika bergerak dari garis awal sampai melewati garis akhir. Lukman (2003) menjelaskan bahwa tubuh mengalami gerak linier berkenaan dengan gerak rotasi dari beberapa ruasnya. Misalnya, pada cabang olahraga renang, jalan dan lari. Secara teori, yang membuat seseorang dapat berlari adalah adanya gerak sudut pada lengan dan tungkai secara kontinyu tanpa mengubah arah gerak tubuh dan didukung oleh komponen biomotor ability yang dominan. Gambetta (1991) menjelaskan pertimbangan biomekanik dalam sprint terdiri atas phase of the race (start, acceleration, maximum speed, speed endurance), sprint mechanics (posture, arm action, leg action), stride length and stride frequency. Dukungan biomekanik di atas menegaskan bahwa fase-fase perlombaan lari terdiri atas fase start, fase akselerasi, fase kecepatan maksimal dan fase mempertahankan kecepatan sampai melewati garis akhir. Sedangkan mekanik lari meliputi posisi tubuh saat berlari, aksi dari lengan dan tungkai yang meliputi kecepatan gerak ayun, ketinggian gerak ayun dan sudut yang dibentuk, yang diaktualisasikan dalam stride frequensy dan stride length. 

Fase start merupakan fase awal dalam perlombaan lari. Tujuan dari start dalam sprint tidak hanya memenangkan start sebagaimana anggapan para atlet, tetapi tujuan pada fase start adalah mencapai kepesatan gerak dan mendapatkan posisi tubuh yang seimbang dalam koordinasi antara gerak ayun lengan dan tungkai untuk akselerasi secepat mungkin melalui efisiensi distribusi tenaga saat fase start, termasuk reaksi terhadap tembakan dan keluar dari start block. Struktur dari fase start jongkok terbagi atas empat bagian yaitu posisi di start block, posisi siap, posisi keluar dari start block, dan posisi gerakan awal aksi berlari.

Rabu, 11 Desember 2013

Hakekat Pelatih


Sugiharto (2008:1) menyimpulkan “kepelatihan olahraga adalah pengulangan beberapa gerakan tertentu secara teratur dan sistematis, berirama, dengan tujuan untuk meningkatkan kemampuan tubuh”. Suharno (1992:3) menyebutkan pengertian melatih adalah aktivitas pelatih menyiapkan dan menciptakan situasi lingkungan latihan sebaik mungkin dan menghubungkannya dengan anak latih sehingga terjadi proses berlatih secara efektif dan efisien untuk mencapai sasaran latihan pada saat itu. 

Seorang pelatih adalah salah satu sumber daya manusia dalam keolahragaan yang berperan sangat penting dalam pencapaian prestasi atlet yang dilatihnya (Budiwanto, 2004:6). Maka seorang pelatih hendaknya selalu berusaha untuk menjadi profesional dengan meningkatkan pengetahuan dan keterampilan yang berhubungan dengan dan cabang olahraga yang dilatihkan. Seorang pelatih hendaknya memiliki keterampilan sesuai dengan cabang olahraga yang dilatihnya. Pengalaman sebagai pemain akan memberikan nilai tambah tersendiri dalam perannya sebagai pelatih yang memerlukan keterampilan. Misalnya dalam melatih passing dan dribling, maka pelatih harus memberikan contoh gerakan yang baik dari posisi badan hingga kaki, sehingga atletnya tidak mengalami kebingungan dan dapat dengan mudah menirukan gerakan yang diperagakan. Apabila pelatih tidak menguasai keterampilan yang dilatihkan, maka akan terjadi perbedaan persepsi dari masing-masing atlet, sehingga keterampilan yang diharapkan dikuasai atlet tidak dapat tercapai. 

Martens (2004: 1-365) menyebutkan bahwa “ becoming a succesfull coach is principles of teaching, principles of behavior, principles of teaching, principles of physical training and principles of management”. Dari pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa untuk menjadi pelatih yang sukses harus memiliki 6 prinsip, diantaranya prinsip dalam melatih, prinsip perlakuan, prinsip pengajaran, prinsip latihan fisik dan prinsip managemen. Prinsip melatih terdiri dari mengembangkan filosofi melatih, menentukan obyek yang dilatih, memilih gaya melatih, melatih karakter dan melatih berbagai atlet. Kemudian dalam prinsip perlakuan terdiri dari berkomunikasi dengan atlet, memotivasi atlet dan mengatur perilaku atlet. Prinsip pengajaran terdiri dari cara melatih mendekati permainan, pokok latihan, melatih energi tubuh, melatih kekuatan tubuh, kemampuan atlet dan memerangi obat-obatan. Sedangkan prinsip managemen terdiri dari mengatur sebuah tim, mengatur hubungan relasi dan mengatur resiko yang diperoleh. 

Pelatih adalah tokoh sentral dalam proses latihan. Tokoh sentral tersebut harus memiliki ciri-ciri yang ideal antara lain, kepribadian, kemampuan fisik, keterampilan, kesegaran jasmani, pengetahuan dan pola pikir ilmiah, pengalaman, human relation dan kerjasama, dan kreatifitas (Budiwanto, 2004:5). Menjadi seorang pelatih harus memiliki ciri-ciri tersebut karena hal itu sangat mempengaruhi kualitas latihan yang dilakukan serta dalam menyusun jadwal latihan yang akan dilakukan sesuai dengan sistematika dalam latihan. Seorang pelatih harus selalu tampil prima baik secara fisik maupun mental. Hal tersebut sangat berpengaruh terhadap kondisi kejiwaan para atletnya baik pada saat latihan ataupun dalam menghadapi tekanan suatu perandingan. Pelatih yang memiliki kesegaran jasmani yang baik akan mampu memimpin dan menjalankan program latihan yang sudah disusun dan mampu memberikan gerakan keterampilan yang dilatihkan kepada atletnya. 

Selain beberapa hal tersebut, pelatih juga harus memiliki keterampilan berkomunikasi yang baik sesuai dengan pendapat Martens (2004: 96) “succesfull coaches are masterful communications and unsuccesfull coaches often fail not because they lack knowledge of the sport but because off poor komunications skills”. Pendapat tersebut berarti kesuksesan pelatih adalah kemahiran berkomunikasi dan ketidaksuksesan pelatih bukan sering terjadi karena mereka kurang mengetahui olahraganya, tetapi karena keahlian berkomunikasi yang buruk. Jadi keahlian berkomunikasi harus dimiliki oleh pelatih agar mampu melakukan sesuatu hal sesuai dengan tujuannya. 

Kesehatan mental merupakan salah satu aspek kejiwaan yang mutlak dimiliki seorang pelatih. Dalam melakukan latihan, banyak sekali gangguan dan masalah yang harus dihadapi pelatih, baik masalah internal, eksternal maupun masalah alam. Pelatih harus mampu menghadapi masalah tersebut dengan mempertimbangkan segala sesuatunya dengan analisa yang cepat dan tepat. Pelatih juga harus mempertimbangkan kondisi atletnya saat ada gangguan. Segala sesuatu yang berkaitan dengan atlet yang melakukan olahraga (pertandingan/perlombaan) selalu mempengaruhi dan membangkitkan emosi-emosi, impulse-impulse dari atlet tersebut (Yohanes, 1991:19). Kemampuan memecahkan masalah-masalah yang dihadapi dalam melatih tidak terlepas dari tingkat kecerdasan pelatih sendiri. Tingkat kecerdasan tersebut menunjuk pada Intelegence Quotient (IQ). Makin tinggi IQ pelatih, maka makin cepat dan maksimal dalam menganalisa dan menyelesaikan masalah yang dihadapi dalam pelatihan. 

Seorang pelatih juga harus memiliki kreatifitas dan daya imajinasi yang kuat, sehingga kualitas latihan dapat terus berkembang dan meningkat sesuai dengan harapan pelatih. Pelatih tidak hanya boleh puas dengan apa yang ia berikan dari hasil meniru dari kegiatan latihan yang didapatnya dari pelatih lain. Inovasi dan kreasi dalam menciptakan atau memodifikasi kegiatan latihan dapat meingkatkan prestasi dan keterampilan atletnya secara maksimal. 

Harus disadari bahwa dalam melatih atlet dewasa dengan anak usia dini sangatlah berbeda, jadi pelatih harus memperhatikan kemampuan dan usia atletnya. Pelatih juga harus mencintai pekerjaan dan kegiatannya sebagai pelatih dan tidak hanya berpedoman pada materi saja, karena hal tersebut sangat mempengaruhi tingkat kepuasan diri. Apabila pelatih hanya memperhatikan materi saja, maka kemungkinan perkembangan atlet kurang diperhatikan. Menjadi seorang pelatih tidak boleh cepat merasa puas dengan hasil yang sudah dicapai, sehingga harus terus meningkatkan prestasi atletnya dengan selalu melakukan regenerasi dan peningkatan keterampilan yang baik. 

Martens (2004: 71) menyebutkan bahwa “early adolescence (11 to 14 years), many believe that when adolescents go through the growth spurt they experience awkwardness (lack of agility, balance and coordination) until they have a chance to accommodate these changes”. Hal tersebut berarti sebelum masa muda (11 sampai 14 tahun), banyak yang percaya bahwa ketika remaja kekuatan pertumbuhan pengalaman mereka masih kacau (seperti kelincahan, keseimbangan dan koordinasi) sampai mereka mempunyai sebuah pilihan untuk mencukupi perubahan mereka. Jadi pada masa remaja kecenderungan pertumbuhan akan lemah apabila tidak ada tindakan untuk mengubahnya. Peran pelatih sangat berguna untuk mengubah pertumbuhan tersebut ke arah yang positif. 

Berdasarkan beberapa pengertian di depan, maka dapat disimpulkan bahwa pelatih adalah seseorang yang melakukan pelatihan terhadap orang atau sekelompok orang untuk beberapa gerakan yang sistematis, berirama dengan tujuan untuk meningkatkan kemampuan tubuh yang dilakukan secara berulang-ulang.

Senin, 25 November 2013

Pengertian Disiplin Belajar


Sebutan orang yang memiliki disiplin tinggi biasanya tertuju kepada orang yang selalu hadir tepat waktu, taat terhadap aturan, berperilaku sesuai dengan norma-norma yang berlaku, dan sejenisnya. Sebaliknya, sebutan orang yang kurang disiplin biasanya ditujukan kepada orang yang kurang atau tidak dapat mentaati peraturan dan ketentuan berlaku, baik yang bersumber dari masyarakat (konvensi-informal), pemerintah atau peraturan yang ditetapkan oleh suatu lembaga tertentu (organisasional-formal).

Prijodarminto (1994) dalam Tu’u (2004:31) disiplin adalah suatu kondisi yang tercipta dan berbentuk melalui proses dari serangkaian perilaku yang menunjukan nilai-nilai ketaatan, kepatuhan, kesetiaan, keteraturan dan keterikatan. Menurut Maman Rachman (1999) dalam Tu’u (2004:32) menyatakan disiplin sebagai upaya mengendalikan diri dan sikap mental individu atau masyarakat dalam mengembangkan kepatuhan dan ketaatan terhadap peraturan dan tata tertib berdasarkan dorongan dan kesadaran yang muncul dari dalam hatinya. Gordon (1996:3-4) membedakan kata disiplin dengan mendisiplin. Disiplin biasanya diartikan sebagai perilaku dan tata tertib yang sesuai dengan peraturan dan ketetapan, atau perilaku yang diperoleh dari pelatihan, seperti disiplin dalam kelas atau disiplin dalam tim bola basket yang baik. Sedangkan kata mendisiplin didefinisikan sebagai menciptakan keadaan tertib dan patuh dengan pelatihan dan pengawasan dan menghukum atau mengenakan denda, membetulkan, menghukum demi kebiasaan.

Esensi disiplin siswa di Indonesia harus dikembalikan sebagai sebuah tanggung jawab yang diemban siswa terhadap tugas yang harus diselesaikan, dan harus dijauhkan dari segala bentuk kekerasan fisik. Hukuman fisik tidak menjadi masalah jika memang tujuannya melatih kedisiplinan dan tanggung jawab terhadap tugas. Ini berbeda dengan tindak kekerasan dengan dalih mendidik tetapi merugikan fisik siswa. Gambaran guru yang menerapkan disiplin tinggi dan salah kaprah di sekoah pada umumnya sudah identik dengan penggaris panjang sebagai alat pukul, memelintir telinga siswa,menghukum siswa untuk berdiri dengan satu kaki. Image yang sudah keropos ini terus berlangsung sejak lama dan sampai sekarangpun masih terus terjadi di sekolah-sekolah daerah bahkan juga di sekolah yang terletak di perkotaan. Ini merupakan sebuah sinyal dimana pendidikan 10 tahun kedepan akan semakin suram bila mendapati para pendidiknya lebih mengedepankan pendidikan kekerasan untuk membentuk pribadi siswa yang disiplin.

Memperhatikan pendapat Reisman dan Payne dalam Mulyasa (2004:21) dapat dikemukakan Sembilan strategi untuk mendisiplinkan peserta didik, sebagai berikut.
  1. Konsep diri atau self-concept, strategi ini menekankan bahwa konsep diri masing-masing individu merupakan faktor penting dari setiap perilaku. Untuk menumbuhkan konsep diri, guru disarankan bersikap empatik, menerima, hangat, dan terbuka, sehingga peserta didik dapat mengeksporasikan pikiran dan perasaannya dalam memecahkan masalah.
  2. Keterampilan berkomunikasi atau communication skill, guru harus memiiki keterampilan daam berkomunikasi yang efektif agar mampu menerima semua perasaan, dan mendorong timbulnya kepatuhan peserta didik.
  3. Konsekuensi logis dan alami atau natural and logical consequence, Perilaku yang salah terjadi karena peserta didik telah mengembangkan kepercayaan yang salah terhadap dirinya. Untuk itu guru disarankan menunjukkan secara tepat tujuan perilaku yang salah, sehingga membantu peserta didik daam mengatasi perilakunya, dan memanfaatkan akibat-akibat logis dan alami dari perilaku yang salah.
  4. Klarifikasi nilai atau values clarification, strategi ini dilakukan untuk membantu peserta didik dalam menjawab pertanyaannya sendiri tentang nilai-nilai dan membentuk system nilainya sendiri.
  5. Analisis transaksional atau transactional analysis, disarankan agar guru belajara sebagai orang dewasa, terutama apabila berhadapan dengan peserta didik yang menghadapi masalah.
  6. Terapi realistis atau reality therapy, sekolah harus berupaya mengurangi kegagalan dan meningkatkan keterlibatan. Dalam hal ini guru harus bersikap positif dan bertanggung jawab.
  7. Disipin yang terintegrasi atau assertive discipline, metode ini menekankan pengendalian penuh oleh guru untuk mengembangkan dan mempertahankan peraturan. Prinsip-prinsip modifikasi perilaku yang sistematik diimplementasikan di kelas, termasuk pemanfaatan papan tulis untuk menuliskan nama-nama peserta didik yang berperilaku menyimpang.
  8. Modifikasi perilaku atau behavior modification, perilaku salah yang disebabkan oleh lingkungan, sebagai tindakan remidiasi. Sehubungan dengan ha tersebut, dalam pembelajaran perlu diciptakan lingkungan yang kondusif.
  9. Tantangan bagi disiplin atau dare to discipline, guru diharapkan cekatan, sangat terorganisasi, dan dalam pengendalian yang tegas. Pendekatan ini mengasumsikan bahwa peserta didik akan menghadapi berbagai keterbatasan pada hari-hari pertama di sekolah, dan guru perlu membiarkan mereka mengetahui siapa yang berada dalam posisi sebagai pemimpin
Seorang siswa dalam mengikuti kegiatan belajar di sekolah tidak akan lepas dari berbagai peraturan dan tata tertib yang diberlakukan di sekolahnya, dan setiap siswa dituntut untuk dapat berperilaku sesuai dengan aturan dan tata tertib yang yang berlaku di sekolahnya. Kepatuhan dan ketaatan siswa terhadap berbagai aturan dan tata tertib yang yang berlaku di sekolahnya itu biasa disebut disiplin siswa. 

Untuk mendisiplinkan peserta didik dengan sembilan strategi tersebut, harus mempertimbangkan berbagai situasi, dan memahami faktor-faktor yang mempengaruhinya. Menurut Mulyasa (2004:24), disarankan kepada guru untuk melakukan hal-hal sebagai berikut:
  1. Mempelajari pengalaman peserta didik melalui kartu catatan kumulatif.
  2. Mempelajari nama-nama peseta didik secara langsung, misalnya melalui daftar hadir dikelas.
  3. Mempertimbangkan lingkungan pembelajaran dan lingkungan peserta didik.
  4. Memberikan tugas yang jelas, dapat dipahami, sederahana, dan tidak bertele-tele.
  5. Menyiapkan kegiatan sehari-hari agar apa yang diakukan dalam pembelajaran sesuai dengan apa yang direncanakan, sehingga tidak terjadi penyimpangan.
  6. Bergairah dan semangat dalam pembelajaran, dijadikan teladan peserta didik.
  7. Berbuat sesuatu yang berbeda dan bervariasi, tidak monoton, sehingga membantu disiplin dan gairah belajar peserta didik.
  8. Menyesuaikan argumentasi dengan kemampuan peserta didik, jangan memaksa peserta didik sesuai pemahaman guru, atau mengukur peserta didik dari kemampuan gurunya.
  9. Membuat peraturan yang jelas dan tegas agar bisa diaksanakan dengan sebaik-baiknya oleh peserta didik dan lingkungannya.

Senin, 19 Agustus 2013

Faktor Psikologi Belajar


Belajar merupakan suatu proses usaha yang dilakukan oleh individu secara sadar untuk memperoleh perubahan perilaku seperti dalam pengetahuan, kebiasaan, keterampilan, sikap, persepsi kebiasaan dan tingkah laku afektif lainnya sebagai hasil dalam pengalaman. Belajar dipengaruhi oleh foktor psikologis. Sekurang-kurangnya ada tujuh faktor yang tergolong kedalam faktor psikologis yang mempengaruhi belajar. Faktor-faktor itu adalah: inteligensi, perhatian, minat, bakat, motivasi, kematangan dan kelelahan.

1) Inteligensi
Inteligensi besar pengaruhnya terhadap kemajuan belajar. Dalam situasi yang sama, siswa yang mempunyai tingkat inteligensi yang tinggi akan lebih berhasil daripada yang mempunyai tingkat inteligensi yang rendah. Walaupun begitu siswa yang mempunyai tingkat inteligensi yang tinggi belum pasti berhasil dalam belajarnya. Hal ini disebabkan karena belajar adalah suatu proses yang kompleks dengan banyak faktor yang mempengaruhinya, sedangkan inteligensi adalah salah satu faktor diantara faktor yang lain. Jika faktor lain itu bersifat menghambat/berpengaruh negatif terhadap belajar, akhirnya siswa gagal dalam belajarnya. Siswa yang mempunyai tingkat inteligensi yang normal dapat berhasil dengan baik dalam belajarnya, jika ia belajar dengan baik, artinya belajar dengan menerapkan metode belajar yang efisien dan faktor-faktor yang mempengaruhi belajarnya (faktor jasmaniah, psikologi, keluarga, sekolah, masyarakat) memberi pengaruh yang positif. Jika siswa memiliki inteligensi yang rendah, ia perlu mendapat pendidikan di lembaga pendidikan khusus.

2) Perhatian
Untuk dapat menjamin hasil belajar yang baik, maka siswa harus mempunyai perhatian terhadap bahan yang dipelajarinya, jika bahan pelajarannya tidak menjadi perhatian siswa, maka timbullah kebosanan, sehimgga ia tidak lagi suka belajar. Agar siswa dapat belajar dengan baik, usahakanlah bahan pelajaran selalu menarik perhatian dengan cara mengusahakan pelajarannya itu sesuai dengan hobi atau bakatnya.

3) Minat
Minat besar pengaruhnya terhadap belajar, karena bila bahan pelajaran yang dipelajari tidak sesuai dengan minat siswa, siswa tidak akan belajar dengan sebaik-baiknya, karena tidak ada daya tarik baginya. Ia segan-segan untuk belajar, ia tidak memperoleh kepuasan dari pelajarannya itu. Bahan pelajaran yang menarik minat siswa, lebih mudah dipelajari dan disimpan, karena minat menambah kegiatan belajar.
Jika terdapat siswa yang kurang berminat terhadap belajar, dapatlah diusahakan agar ia mempunyai minat yang lebih besar dengan cara menjelaskan hal-hal yang menarik dan berguna bagi kehidupan serta hal-hal yang berhubungan dengan cita-cita serta kaitannya dengan bahan pelajaran yang dipelajari itu.

4) Bakat
Jika bahan pelajaran yang dipelajari siswa sesuai dengan bakatnya, maka hasil belajarnya lebih baik karena ia senang belajar dan pastilah selanjutnya ia lebih giat lagi dalam belajarnya itu. Adalah penting untuk mengetahui bakat siswa dan menempatkan siswa belajar di sekolah yang sesuai dengan bakatnya.

5) Motivasi
Dalam proses belajar haruslah diperhatikan apa yang dapat mendorong siswa agar dapat belajar dengan baik atau padanya mempunyai motivasi untuk berpikir dan memusatkan perhatian, merencanakan dan melaksanakan kegiatan yang berhubungan/ menunjang belajar. Menurut Syah (2006: 151), motivasi dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu: 1) motivasi intrinsik dan 2) motivasi ekstrinsik. Motivasi intrinsik adalah hal dan keadaan yang berasal dari dalam diri siswa sendiri yang dapat mendorongnya melakukan tindakan belajar. Termasuk dalam motivasi intrinsik siswa adalah perasaan menyenangi materi dan kebutuhannya terhadap materi tersebut, misalnya untuk kehidupan masa depan siswa yang bersangkutan.
Adapun motivasi ekstinsik adalah hal dan keadaan yang datang dari luar individu siswa yang juga mendorongnya untuk melakukan kegiatan belajar. Pujian dan hadiah, peraturan/tata tertib sekolah, suri teladan orang tua, guru, dan seterusnya merupakan contoh-contoh konkret motivasi ekstrinsik yang dapat menolong siswa untuk belajar. Kekurangan atau ketiadaan motivasi baik yang bersifat internal maupun yang bersifat eksternal, akan menyebabkan kurang bersemangatnya siswa dalam melakukan proses mempelajari materi- materi pelajaran baik di sekolah maupun di rumah.

6) Kematangan
Kematangan adalah suatu tingkat/fase dalam pertumbuhan seseorang, di mana alat-alat dan tubuhnya sudah siap untuk melaksanakan kecakapan baru. Kematangan belum berarti anak dapat melaksanakan kegiatan secara terus-menerus, untuk itu diperlukan latihan-latihan dan pelajaran. Dengan kata lain anak yang sudah siap (matang) belum dapat melaksanakan kecakapannya sebelum belajar. Belajarnya akan lebih berhasil jika anak sudah siap (matang). Jadi kemajuan baru untuk memiliki kecakapan itu tergantung dari kematangan dan belajar.

7) Kesiapan
Kesiapan adalah kesediaan untuk memberi response atau bereaksi. Kesediaan itu timbul dari dalam diri seseorang dan juga berhubungan dengan kematangan, karena kematangan berarti kesiapan untuk melaksanakan kecakapan. Kesiapan ini perlu diperhatikan dalam proses belajar, karena jika siswa belajar dan padanya sudah ada kesiapan, maka hasil belajarnya akan lebih baik.