Senin, 16 Desember 2013

Hakekat Lari Cepat Jarak Pendek


Lari cepat jarak pendek yang lazim disebut sprint merupakan kelompok nomor lari dengan jarak tempuh sangat dekat. Tujuan utama dari sprint adalah mencapai kecepatan lari secara maksimal dan mempertahankan kecepatan lari tersebut selama mungkin sampai melewati garis akhir dalam waktu yang paling singkat. Nomor sprint diklasifikasikan dalam jarak 100 meter, 100 meter gawang, 110 meter gawang, 200 meter, 400 meter, 400 meter gawang, estafet 4 x 100 meter, dan estafet 4 x 400 meter. 

Jarak sprint ini diklasifikasikan lagi oleh Ballesteros (1993) menjadi sprint pendek (100 m, 200 m, 100 mgw, 110 mgw) dan sprint panjang (400 m dan 400 mgw). Klasifikasi yang dikemukakan oleh Ballesteros hanya didasarkan pada aktivitas murni yang dilakukan seorang atlet ketika meraih prestasi dalam suatu perlombaan tanpa ada bantuan dari orang lain (temannya) misalnya pada estafet 4 x 100 m dan estafet 4 x 400 m. Kemenangan yang diperoleh dari kedua nomor di atas tidak ditentukan oleh satu orang saja tetapi ditentukan oleh kerja sama dari keempat pelari yang terpilih sehingga jarak 4 x 100 m, 4 x 400 m tidak dimasukan dalam klasifikasi jarak tersebut, akan tetapi kedua jarak ini merupakan bagian dari nomor sprint yang dimasukan dalam acara perlombaan resmi International Athletic Amateur Federation (IAAF). 

Mengacu pada tujuannya, kecepatan merupakan sifat biomotor bagi atlet sprint yang dimaksudkan sebagai suatu kemampuan untuk melakukan gerakan khusus dalam waktu yang paling singkat. Sprint juga merupakan keterampilan gerak yang didapat melalui pemahaman atau aturan-aturan pada prinsip belajar gerak (motor-learning). Menurut pemikiran tradisional, sprinter itu dilahirkan dan bukan dihasilkan. Hal ini menjadi benar ketika mengacu pada ungkapan bahwa tidak mungkin ada pelari kelas dunia tanpa dukungan genetik. Di pihak lain, seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan hasil-hasil penelitian menyebabkan batasan ini tidak banyak dipakai karena memang pemahamannya terlalu sempit. 

Seperti telah dinyatakan, bahwa seorang atlet bukan dilahirkan tetapi dihasilkan. Kata dihasilkan mengandung arti, atlet itu dibentuk melalui suatu proses pelatihan yang terencana dalam suatu perencanaan program pelatihan secara sistematis, berkesinambungan dan berlandaskan IPTEK kepelatihan olahraga prestasi khusus pada nomor tersebut. Banyak ilmu kepelatihan olahraga prestasi khusus nomor sprint, yang harus dipahami sebelum melaksanakan tugas melatih. Dukungan ilmu pengetahuan yang dimaksud antara lain adalah biomekanika, anatomi, fisiologi, biomotorik, tes dan pengukuran, psikologi, pengetahuan proses melatih dan pengetahuan tentang penyusunan program pelatihan. Dukungan ilmu yang terkait dengan mekanik sprint adalah biomekanika.

Dukungan biomekanika terkait dengan penampilan seorang sprinter dapat dikaji dari jalur pergerakan, mekanik sprint dan faktor pendukung pergerakan. Dari arah gerak atau jalur pergerakan, lari termasuk dalam gerak linier. Dikatakan demikian karena arah pergerakan yang dilakukan berada pada satu jalur dengan tidak mengubah arah gerakannya ketika bergerak dari garis awal sampai melewati garis akhir. Lukman (2003) menjelaskan bahwa tubuh mengalami gerak linier berkenaan dengan gerak rotasi dari beberapa ruasnya. Misalnya, pada cabang olahraga renang, jalan dan lari. Secara teori, yang membuat seseorang dapat berlari adalah adanya gerak sudut pada lengan dan tungkai secara kontinyu tanpa mengubah arah gerak tubuh dan didukung oleh komponen biomotor ability yang dominan. Gambetta (1991) menjelaskan pertimbangan biomekanik dalam sprint terdiri atas phase of the race (start, acceleration, maximum speed, speed endurance), sprint mechanics (posture, arm action, leg action), stride length and stride frequency. Dukungan biomekanik di atas menegaskan bahwa fase-fase perlombaan lari terdiri atas fase start, fase akselerasi, fase kecepatan maksimal dan fase mempertahankan kecepatan sampai melewati garis akhir. Sedangkan mekanik lari meliputi posisi tubuh saat berlari, aksi dari lengan dan tungkai yang meliputi kecepatan gerak ayun, ketinggian gerak ayun dan sudut yang dibentuk, yang diaktualisasikan dalam stride frequensy dan stride length. 

Fase start merupakan fase awal dalam perlombaan lari. Tujuan dari start dalam sprint tidak hanya memenangkan start sebagaimana anggapan para atlet, tetapi tujuan pada fase start adalah mencapai kepesatan gerak dan mendapatkan posisi tubuh yang seimbang dalam koordinasi antara gerak ayun lengan dan tungkai untuk akselerasi secepat mungkin melalui efisiensi distribusi tenaga saat fase start, termasuk reaksi terhadap tembakan dan keluar dari start block. Struktur dari fase start jongkok terbagi atas empat bagian yaitu posisi di start block, posisi siap, posisi keluar dari start block, dan posisi gerakan awal aksi berlari.

Rabu, 11 Desember 2013

Hakekat Pelatih


Sugiharto (2008:1) menyimpulkan “kepelatihan olahraga adalah pengulangan beberapa gerakan tertentu secara teratur dan sistematis, berirama, dengan tujuan untuk meningkatkan kemampuan tubuh”. Suharno (1992:3) menyebutkan pengertian melatih adalah aktivitas pelatih menyiapkan dan menciptakan situasi lingkungan latihan sebaik mungkin dan menghubungkannya dengan anak latih sehingga terjadi proses berlatih secara efektif dan efisien untuk mencapai sasaran latihan pada saat itu. 

Seorang pelatih adalah salah satu sumber daya manusia dalam keolahragaan yang berperan sangat penting dalam pencapaian prestasi atlet yang dilatihnya (Budiwanto, 2004:6). Maka seorang pelatih hendaknya selalu berusaha untuk menjadi profesional dengan meningkatkan pengetahuan dan keterampilan yang berhubungan dengan dan cabang olahraga yang dilatihkan. Seorang pelatih hendaknya memiliki keterampilan sesuai dengan cabang olahraga yang dilatihnya. Pengalaman sebagai pemain akan memberikan nilai tambah tersendiri dalam perannya sebagai pelatih yang memerlukan keterampilan. Misalnya dalam melatih passing dan dribling, maka pelatih harus memberikan contoh gerakan yang baik dari posisi badan hingga kaki, sehingga atletnya tidak mengalami kebingungan dan dapat dengan mudah menirukan gerakan yang diperagakan. Apabila pelatih tidak menguasai keterampilan yang dilatihkan, maka akan terjadi perbedaan persepsi dari masing-masing atlet, sehingga keterampilan yang diharapkan dikuasai atlet tidak dapat tercapai. 

Martens (2004: 1-365) menyebutkan bahwa “ becoming a succesfull coach is principles of teaching, principles of behavior, principles of teaching, principles of physical training and principles of management”. Dari pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa untuk menjadi pelatih yang sukses harus memiliki 6 prinsip, diantaranya prinsip dalam melatih, prinsip perlakuan, prinsip pengajaran, prinsip latihan fisik dan prinsip managemen. Prinsip melatih terdiri dari mengembangkan filosofi melatih, menentukan obyek yang dilatih, memilih gaya melatih, melatih karakter dan melatih berbagai atlet. Kemudian dalam prinsip perlakuan terdiri dari berkomunikasi dengan atlet, memotivasi atlet dan mengatur perilaku atlet. Prinsip pengajaran terdiri dari cara melatih mendekati permainan, pokok latihan, melatih energi tubuh, melatih kekuatan tubuh, kemampuan atlet dan memerangi obat-obatan. Sedangkan prinsip managemen terdiri dari mengatur sebuah tim, mengatur hubungan relasi dan mengatur resiko yang diperoleh. 

Pelatih adalah tokoh sentral dalam proses latihan. Tokoh sentral tersebut harus memiliki ciri-ciri yang ideal antara lain, kepribadian, kemampuan fisik, keterampilan, kesegaran jasmani, pengetahuan dan pola pikir ilmiah, pengalaman, human relation dan kerjasama, dan kreatifitas (Budiwanto, 2004:5). Menjadi seorang pelatih harus memiliki ciri-ciri tersebut karena hal itu sangat mempengaruhi kualitas latihan yang dilakukan serta dalam menyusun jadwal latihan yang akan dilakukan sesuai dengan sistematika dalam latihan. Seorang pelatih harus selalu tampil prima baik secara fisik maupun mental. Hal tersebut sangat berpengaruh terhadap kondisi kejiwaan para atletnya baik pada saat latihan ataupun dalam menghadapi tekanan suatu perandingan. Pelatih yang memiliki kesegaran jasmani yang baik akan mampu memimpin dan menjalankan program latihan yang sudah disusun dan mampu memberikan gerakan keterampilan yang dilatihkan kepada atletnya. 

Selain beberapa hal tersebut, pelatih juga harus memiliki keterampilan berkomunikasi yang baik sesuai dengan pendapat Martens (2004: 96) “succesfull coaches are masterful communications and unsuccesfull coaches often fail not because they lack knowledge of the sport but because off poor komunications skills”. Pendapat tersebut berarti kesuksesan pelatih adalah kemahiran berkomunikasi dan ketidaksuksesan pelatih bukan sering terjadi karena mereka kurang mengetahui olahraganya, tetapi karena keahlian berkomunikasi yang buruk. Jadi keahlian berkomunikasi harus dimiliki oleh pelatih agar mampu melakukan sesuatu hal sesuai dengan tujuannya. 

Kesehatan mental merupakan salah satu aspek kejiwaan yang mutlak dimiliki seorang pelatih. Dalam melakukan latihan, banyak sekali gangguan dan masalah yang harus dihadapi pelatih, baik masalah internal, eksternal maupun masalah alam. Pelatih harus mampu menghadapi masalah tersebut dengan mempertimbangkan segala sesuatunya dengan analisa yang cepat dan tepat. Pelatih juga harus mempertimbangkan kondisi atletnya saat ada gangguan. Segala sesuatu yang berkaitan dengan atlet yang melakukan olahraga (pertandingan/perlombaan) selalu mempengaruhi dan membangkitkan emosi-emosi, impulse-impulse dari atlet tersebut (Yohanes, 1991:19). Kemampuan memecahkan masalah-masalah yang dihadapi dalam melatih tidak terlepas dari tingkat kecerdasan pelatih sendiri. Tingkat kecerdasan tersebut menunjuk pada Intelegence Quotient (IQ). Makin tinggi IQ pelatih, maka makin cepat dan maksimal dalam menganalisa dan menyelesaikan masalah yang dihadapi dalam pelatihan. 

Seorang pelatih juga harus memiliki kreatifitas dan daya imajinasi yang kuat, sehingga kualitas latihan dapat terus berkembang dan meningkat sesuai dengan harapan pelatih. Pelatih tidak hanya boleh puas dengan apa yang ia berikan dari hasil meniru dari kegiatan latihan yang didapatnya dari pelatih lain. Inovasi dan kreasi dalam menciptakan atau memodifikasi kegiatan latihan dapat meingkatkan prestasi dan keterampilan atletnya secara maksimal. 

Harus disadari bahwa dalam melatih atlet dewasa dengan anak usia dini sangatlah berbeda, jadi pelatih harus memperhatikan kemampuan dan usia atletnya. Pelatih juga harus mencintai pekerjaan dan kegiatannya sebagai pelatih dan tidak hanya berpedoman pada materi saja, karena hal tersebut sangat mempengaruhi tingkat kepuasan diri. Apabila pelatih hanya memperhatikan materi saja, maka kemungkinan perkembangan atlet kurang diperhatikan. Menjadi seorang pelatih tidak boleh cepat merasa puas dengan hasil yang sudah dicapai, sehingga harus terus meningkatkan prestasi atletnya dengan selalu melakukan regenerasi dan peningkatan keterampilan yang baik. 

Martens (2004: 71) menyebutkan bahwa “early adolescence (11 to 14 years), many believe that when adolescents go through the growth spurt they experience awkwardness (lack of agility, balance and coordination) until they have a chance to accommodate these changes”. Hal tersebut berarti sebelum masa muda (11 sampai 14 tahun), banyak yang percaya bahwa ketika remaja kekuatan pertumbuhan pengalaman mereka masih kacau (seperti kelincahan, keseimbangan dan koordinasi) sampai mereka mempunyai sebuah pilihan untuk mencukupi perubahan mereka. Jadi pada masa remaja kecenderungan pertumbuhan akan lemah apabila tidak ada tindakan untuk mengubahnya. Peran pelatih sangat berguna untuk mengubah pertumbuhan tersebut ke arah yang positif. 

Berdasarkan beberapa pengertian di depan, maka dapat disimpulkan bahwa pelatih adalah seseorang yang melakukan pelatihan terhadap orang atau sekelompok orang untuk beberapa gerakan yang sistematis, berirama dengan tujuan untuk meningkatkan kemampuan tubuh yang dilakukan secara berulang-ulang.